POTRET PENDIDIKAN INDONESIA
Dalam panggung sejarah manusia, pendidikan telah ikut
mewarnai catatan peradapan.Mesir kuno dan Yunani kuno memiliki peradaban yang
tinggi, karena pendidikannya yang maju. Bangsa di dunia yang pendidikannya
berkembang, menjadi negara yang maju pesat antara lain AS, Jepang dan Korea.
Begitu pula Jerman dan Prancis yang basis pendidikan mereka kuat sehingga
menjadi negara dengan tingkat kemajuan yang luar biasa. Jepang yang hancur
setelah perang Dunia II memulai bangkit dengan melakukan pembenahan sistem pendidikan
karena mereka sadar pendidikan adalah investasi jangka panjang, dan hasilnya
jepang pun menjadi negara maju terdepan dalam percaturan ekonomi dunia. Tak
terelakkan lagi pendidikan adalah salah satu instrumen penting untuk membangun
sebuah bangsa.
Berkaca dalam potret pendidikan kita, data statistik menunjukkan mayoritas penduduk Indonesia berusia 15- 64 tahun berpendidikan dasar sebesar 36,02%, SD dan SMP 55,6 %, SD+SMP+SMA sebanyak 78,2 %, Perguruan Tinggi adalah 5,1 % dan tidak berijazah sebanyak 16,8 %. Augka yang tinggi juga tercatatkan dalam kasus buta huruf dan putus sekolah di Indonesia .
Menurut data UNESCO 2009 peringkat pendidikan Indonesia turun
dari 58 menjadi 62 di antara 130 negara di dunia. Education Development Index
(EDI) Indonesia adalah 0.935, di bawah Malaysia (0.945) dan Brunei Darussalam
(0.965). Demikianlah cukup data yang memaparkan sekaligus menggambarkan
kenyataan bahwasanya daya saing pendidikan Indonesia sekarang masih jauh
panggang dari api.
Pendidikan gratis yang sempat digulirkan
pemerintah sebenamya cukup memberi angin segar, sebagai usaha dalam pemerataan
pendidikan, terutama ditingkat sekolah dasar dan menengah pertama. Waiaupun
juga belum semua dapat terealisasikan sepenuhnya. Akan tetapi, permasalahan
timbul lagi ketika siswa akan melanjutkan ke jenjang sekolah atas. Wajib
belajar 9 tahun yang dicanangkan dianggap sudah tak lagi relevan. Wajar 12
tahun mulai diwacanakan karena bagaimanapun tingkat sekolah atas akan
memberikan lebih banyak wawasan dan kecakapan . Adanya pilihan penjurusan,
seperti sekolah vokasi atau kejuruan (SMK) dengan berbagai macam jurusan
semisal, pariwisata, tata boga, tata busana ataupun sejenis STM yang memiki
jurusan seperti jurusan teknik mesin, bangunan, dan lain lain, akan menunjang
bekal softskill untuk siap menghadapi dunia kerja pasca lulus. Begitu juga
setingkat Sekolah Menengah Atas yang dijuruskan untuk dapat melanjutkan ke
jenjang perguruan Tinggi dan selanjutnya menempuh spesialisasi ilmu yang akan
digeluti. Namun pada realitanya, biaya sekolah di sekolah lanjutan tingkat atas
belum terjangkau di kalangan rakyat bawah. Mereka masih harus membayar pendidikan dengan harga yang
sangat tinggi , dan itu adalah suatu pilihan yang cukup menyesakkan dada.
Karena apabila orang tua tidak memiliki cukup biaya maka anaknya pun takpunya
pilihan lain kecuali tidak dapat melanjutkan sekolah. Rencana pemerintah
lainnya dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan dilndonesia ini yaitu
dengan adanya otonomi pendidikan yang mengalokasikan APBD sebesar 20%
diperuntukkan bagi penyelenggaraan pendidikan, hal itupun masih terlihat sulit
dan tersendat-sendat untuk dilakukan. Tak jarang alasan yang dilontarkan
pemerintah daerah masih seputar kebimbangan dalam kebij akan-kebij akan yang
dikeluarkan pemerintah pusat mengenai pengalokasian anggaran tersebut.
TENTANG DAMPAK BURUK
UJIAN NASIONAL
Permasalahan Ujian Nasional turut
mewamai potret pendidikan kita. Meski gugatan UN telah dimenangkan di meja
hijau mahkamah agung, akan tetapi pemerintah bersikukuh tetap menjalankan ujian
nasional, dengan pertimbangan UN bukanlah satu satunya faktor penentu
kelulusan. Hal ini seakan akan menjadi obat penawar bagi sekian ribu anak
bangsa yang tengah menanti ujian nasional, kebij akan yang membuat pada
akhirnya proses sekian tahun mereka belajar tak lagi harus digantungkan dengan
ujian yang hanya dilaksanakan dalam hitungan hari. Catatan kelam kisah kisah
anak bangsa yang seakan terenggut masa depannya hingga terjadi kasus bunuh diri
di beberapa daerah hanya karena gagal di UN tahun tahun lalu serta terjadinya
banyak manipulasi dan kecurangan dalam ujian nasional cukup menjadi alasan
mahkamah agung mengetok palu keputusan untuk meninjau kembali pelaksanaan ujian
nasional. Sebuah pelajaran berharga untuk melakukan pengawasan dan perbaikan
pelaksanaan UN lebih profesional dan transparan. Demi tercetaknya lulusan calon
penerus bangsa yang berkualitas dan terwujudnya sebuah sistem pendidikan yang
lebih baik lagi sekarang dan masa yang akan datang.
Sisi lain yang cukup serius yang dikonfirmasi
adalah UN telah membuat para siswa, guru, dan orangtua merasa tertekan, dan
stress. Rasa tertekan di kalangan siswa dan guru itii biasanya lebih parah
terjadi disekolah
yang lokasinya jauh dari ‘pusat peradaban’ (baca: daerah terpencil). Hal ini
mudah dipahami karena disparitas kualitas pengajaran antara sekolah di daerah urban (perkotaan)
dengan dengan daerah rural (perkampungan) masih menjadi problema dunia
pendidikan kita yang sampai hari ini belum terselesaikan. Maka, ketika standar
kelulusan UN menuntut sama untuk semua siswa, tanpa mempertimbangkan
objektifitas kualitas pengajaran di sekolah mereka, maka jelas para siswa,
guru, dan juga orangtua di daerah terpencil akan merasa tertekan, stress,
takut, dan bahkan putus asa perihal kelulusan mereka pada UN.
Patut diduga bahwa kecemasan seperti inilah
kemudian yang membuat sebagian (besar) dari mereka tergoda untuk mencari short
cut, jalan pintas untuk menembus batas nilai minimal kelulusan UN, dengan
berlaku curang pada pelaksanaan UN. Dan cerita tentang ketidakjujuran ini telah
menjadi ‘kisah sedih tahunan’ pasca pelaksanaan UN di negeri ini. Ya, setiap tahun
kita melihat parodi ketidakjujuran itu dipertontonkan oleh sebagian insan
pendidikan kita. Sebuah kisah ketidakjujuran yang membuat wajah pendidikan
nasional kita semakin buram
MENILIK BERUBAH-UBAHNYA SISTEM PENDIDIKAN DI INDONESIA
Pergantian
kurikulum beberapa kali dilakukan dengan alasan memperbaiki system
pendidikan di Indonesia supaya lebih baik dan tentu saja
dengan harapan sumber daya manusia di Indonesia pun juga akan semakin
berkualitas. Pada kenyataannya beberapa kali pergantian kurikulum tampak kurang
memberikan perubahan seperti yang diharapkan, bahkan yang seringkali terjadi
pergantian kurikulum ini terkesan kurang diolah atau dipersiapkan secara
matang, sehingga pada pelaksanaannya di lapangan terjadi kekacauan atau banyak
kelemahan-kelemahan.
Entah apa maksud sesungguhnya di balik pergantian itu yang
jelas setiap kali pergantian kurikulum maka yang sering dibuat repot dan pusing
adalah pihak sekolah, pendidik, dan murid, terlebih lagi ketika menghadapi
kurikulum yang berlaku. Belum selesai kebingungan sekolah , pendidik dan murid
untuk menyelami kurikulum berbasis kompetensi, antara lain belum adanya solusi
yang tepat untuk menyikapi pelaksanaan ujian dan ujian dan kelulusan yang
memunculkan protes di beberapa tempat, sekarang malah muncul konsep baru yang
harus segera dilaksanakan oleh setiap sekolah yaitu Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP).
Munculnya KTSP, tampaknya menambah kecemasan masyarakat
pendidikan .Akan seperti apakah nantinya penerapan KTSP, dan bagaimana lagi
wajah dunia pendidikan di Indonesia dengan munculnya KTSP ? Banyak pihak masih
belum tahu bagaimana jawaban pastinya. Apakah dengan berubah-ubahnya system ini
benar menjadi semakin baik seperti yang diharapkan ?
Sistem pendidikan di bumi kita tercinta memang tampak belum
stabil. Perubahan terus mengikuti seiring dengan bergantinya kepemimpinan,
seolah-olah mengikuti selera pemimpinnya. Itu semua sampai kini belum tampak
adanya perubahan ke arah yang lebih maju.
Para guru biarkan mereka melaksanakan tugas dengan bebas
tanpa dibebani urusan-urusan “tetek bengek”. Memang dengan sistem ganti dan
berubah-ubahnya kurikulum dituntut lebih arif terelebih dalam pemilihan materi.
Akan lebih senang jika paket pembelajan memiliki ciri berikut
ini: Pertama, pelajaran yang bertujuan mengembangkan daya imajinasi peserta
didik dengan mendorong adanya dialog yang konstruktif dengan imajinasi fantasi
kehidupan seseorang. Kedua pelajaran yang mengembangkan keterampilan
berkomunikasi non verbal seperti pantomime, drama tanpa kata, ekspresi bebas,
meditasi, dan Iain-lain. Ketiga, pelajaran – pelajaran yang mengembangkan dan
mengeksplorasi perasaan seseorang untuk menghadapi realitas kehidupan. Apa yang
dirasakan jauh lebih penting daripada apa yang dipikirkan orang tentang sesuatu
yang sedang dihadapi. Pertanyaannya adalah apa yang kamu rasakan bukan apa yang
kamu pikirkan. Keempat, pelajaran yang bertujuan untuk menyadarkan peserta
didik akan pentingnya pencapaian kepenuhan hidup dan penghayatan hldup yang
intensif, berprinsip “kini dan di sini”.
Dengan perencanaan pendidikan dalam hal ini perencanaan
kurikulum yang baik dan tak adanya perubahan kurikulum yang terjadi terus
menerus tentu pendidikan di Indonesia akan semakin maju dibandingkan sekarang.
Satu lagi yang mewamai rangkaian perjalanan nasib pendidikan
kita yakni dipenghujung tahun 2008, yang dirasakan terutama oleh insan
akademisi di Perguman Tinggi. Gonjang ganjing pendidikan kembali terjadi. Rabu
tertanggal 17 Desember 2008 BHP (Badan Hukum Pendidikan ) yang semula hanya
berupa RUU pada akhirnya, telah sah menjadi Undang undang. BHP yang sudah lama
menuai kontroversi itu pun kembali mengundang berbagai tanggapan dan aksi.
Mulai yang hanya geram sampai yang turun ke jalan. Kekhawatiran akan terjadinya
beberapa implikasi dari penerapan BHP adalah kemungkinan adanya celah untuk
mempailitkan institusi pendidikan (layaknya badan usaha), serta kemungkinan
perguruan tinggi untuk melakukan bisnis pendidikan atau bahasa kerennya
“investasi daiam portofolio” (ini tercantum jelas dalam UU BHP). Namun disi
lain kajian mengenai UU BHP, juga menyebutkan ada pula beberapa point yang
dianggap cukup menguntungkan baik bagi mahasiswa maupun institusi pendidikan.
Semuanya akan berjalan dengan baik bila keputusan ini dijalankan dengan bijak.
Pada hakikatnya, pendidikan adalah nilai luhur pembangunan kepribadian bangsa,
oleh karena itu meskipun pendidikan tak bisa dilepaskan dari segi pendanaan,
namun kita semua berharap pendidikan tidak juga dimanfaatkan oleh segelintir
orang ataupun institusi untuk mengeruk keuntungan ataupun sekedar profit
oriented belaka, apalagi untuk tujuan dikomersialkan. Karena bagaimanapun
esensi mulia sebuah nilai pendidikan memang takkkan terbeli dengan hitungan
materi.
Menilik dari kaca potret pendidikan kita, kita
perlu merenungkan kembali salah satu aspek mendasar dari sistem pendidikan kita
yakni tentang tujuan pendidikan kita. Dalam undang undang tentang sistem
pendidikan nasional telah ditetapkan tujuan pendidikan nasional kita yaitu menciptakan
manusia yang beriman dan bertakqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini yang
seharusnya mewarnai orientasi pendidikan kedepan dengan berbagai turunananya,
termasuk penerapan kebijakan atau model integrasinya dalam material proses
pendidikan. Output pendidikan yang beriman dan bertaqwa diharapkan memberi
pengaruh secara nyata baik secara etika, hukum serta moral dan agama dalam
ranah kerja yang dilaksanakan di setiap lini kehidupan. Manusia yang memiliki
‘run’ dan mampu mengembangkan nilai nilai bijak dan mengarahkan pada kecerdasan
intelektual/akademik atau Intelegence Quotient(IQ), kecerdasan emosional atau
Emotional Quotient (EQ) dan kecerdasan spiritual atau Spiritual Quotient (SQ).
Ketiganya menjadi komponent yang semestinya seimbang (balance), tidak hanya
dari segi intelektual saja tapi juga dari sisi emosional dan spiritual. Seperti
yang dituturkan oleh Bapak Pendidikan kita Ki Hajar Dewantoro“Pendidikan yang hanya
menekankan pada aspek intelektual saja akan menjauhkan anak dari
masyarakatnya”. Sehingga,
pendidikan karakter berbasis moral menjadi wacana yang dapat diaplikasikan
untuk dapat mengintegrasikan nilai nilai moral pada lini pendidikan. Sehingga
output pendidikan yang sebenaraya tidaklah hanya lulusan yang bertitelkan
sekedar formalitas gelar atau deretan angka di lembaran ijazah, akan tetapi
lulusan proses pendidikan yang dapat menjadi manusia seutuhnya. Insan Sejati
berkarakter kuat dan Cerdas, cakap serta bermoral.
Diharapkan pendidikan Indonesia akan tnulai menggeliat
menunjukkan perubahan yang lebih baik, baik dari pembenahan segi infrastruktur
maupun dari kualitas pendidikan itu sendiri. Karena pendidikan adalah dasar
fondasi pembentukan Sumber Daya Manusia di suatu bangsa. Totalitas dari setiap
elemen bangsa sangatlah diharapkan karena pendidikan adalah tanggung jawab
bersama, sekali lagi pendidikan tidak cukup hanya satu dua tangan saja yang
bergerak, namun yang diperlukan adalah komitmen yang disinergikan dengan
langkah gerak pemerintah bersama segenap elemen 210 juta jiwa rakyat bangsa
indonesia untuk membangun pendidikan Indonesia menuju bangsa Indonesia yang
berkualitas mandiri dan bermartabat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar